Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang hak uji materil soal Poligami yang menyatakan bahwa hidup berpoligami tidak bertentangan dengan Konstitusi Negara dan boleh dilakukan dengan sejumlah syarat, antara lain izin dari isteri pertama dan hakim, menimbulkan polemik tentang hal yang satu ini kembali.
Di satu sisi, yang berpandangan poligami halal dilakukan menggugat syarat adanya izin isteri pertama dan hakim mengingat hal itu tidak disyaratkan oleh Islam. Sedang yang kedua, yang menolak adanya poligami berpandangan bahwa diperbolehkannya poligami hanya akan menambah penderitaan perempuan.
Terlepas dari kontroversi di atas, terlepas dari kontroversi aneka ayat dan kajian syariah yang biasa dipergunakan sebagai landasan argumentasi masing-masing pihak, maka ada baiknya kita menengok kembali perjalanan hidup Rasulullah SAW, seorang manusia teladan dan terbaik sepanjang zaman. Rasulullah berpoligami, namun pada situasi dan kondisi yang sangat khusus.
Poligami Rasulullah
Dalam sirah disebutkan, Rasulullah mengakhiri masa lajangnya di usia 25 tahun dengan mengawini seorang perempuan mulia bernama Khadijah binti Khuwalid yang saat itu merupakan seorang janda empat anak dari perkawinan sebelumnya dan telah berusia 40 tahun. Ini adalah pernikahan yang ditunjuk Allah karena Khadijah merupakan wanita mulia dan yang pertama memeluk Islam. Dari Rasulullah SAW, Khadijah mendapat 6 orang anak lagi.
Rasulullah menjalani monogami—tidak menikah lagi—selama 25 tahun bersama Khadijah. Tidak ada satu pun petunjuk bahwa selama bersama Khadijah, Rasulullah pernah menyatakan niat untuk melakukan poligami atau tergoda dengan perempuan lain. Kesetiaan terhadap Khadijah dijalaninya selama 25 tahun masa pernikahan hingga Khadijah wafat.
Jika Rasulullah mau poligami di masa itu, di saat masih muda dan prima, tentu Rasulullah akan mudah untuk melakukannya. Terlebih sejumlah pemimpin suku Quraisy pernah merayu Beliau dengan tawaran perempuan-perempuan paling cantik seantero Arab sekali pun agar Rasulullah mau menghentikan dakwahnya. Tawaran yang di saat sekarang ini sangat menggiurkan, sebuah tawaran yang banyak sekali membuat pejabat, Raja, Presiden, dan bangsawan jatuh dari kursi kekuasaannya, tidak membuat Rasulullah bergeming. Rasulullah tetap setia pada Khadijah dan Dakwah Islam.
Ketika Khadijah wafat di kala Rasulullah berusia 50 tahun, beberapa waktu dilalui Rasulullah dengan menduda. Barulah di saat usia beliau menginjak 51 atau dilain kisah ada yang menulis 52 tahun, maka Rasulullah mengakhiri masa dudanya dengan menikahi Aisyah yang baru berusia 9 tahun (ada catatan lain yang mengatakan Aisyah ketika dinikahi Rasulullah berusia 19 tahun). Namun pernikahan dengan Aisyah ini baru disempurnakan ketika Beliau hijrah ke Madinah.
Setelah dengan Aisyah, Rasulullah yang telah berusia 56 tahun menikah lagi dengan Saudah binti Zam’ah, seorang janda berusia 70 tahun dengan 12 orang anak. Setelah dari Saudah, Rasulullah kembali menikah dengan Zainab binti Jahsyi, janda berusia 45 tahun, lalu dengan Ummu Salamah (janda berusia 62 tahun). Di saat berusia 57 tahun, Rasulullah kembali menikahi Ummu Habibah (janda 47 tahun), dan Juwairiyah binti Al-Harits (janda berusia 65 tahun dengan telah punya 17 anak).
Setahun kemudian Rasulullah kembali menikahi Shafiyah binti Hayyi Akhtab (janda berusia 53 tahun dengan 10 orang anak), Maimunah binti Al-Harits (janda berusia 63 tahun), dan Zainab binti Harits (Janda 50 tahun yang banyak memelihara anak-anak yatim dan orang-orang lemah).
Setahun kemudian, Rasulullah menikah lagi dengan Mariyah binti Al-Kibtiyah (gadis 25 tahun yang dimerdekakan), lalu Hafshah binti Umar bin Khattab (janda 35 tahun, Rasulullah berusia 61 tahun), dan ketika berusia 61 tahun itulah Rasulullah baru menyempurnakan pernikahannya dengan Aisyah, saat mereka telah hijrah ke Madinah.
Dalam setiap pernikahan poligami yang dilakukan Rasulullah SAW terdapat keistimewaan-keistimewaan dan situasi khusus sehingga Allah mengizinkan Beliau untuk itu. Dari segala catatan yang ada, tidak pernah ada satu catatan pun yang menyatakan bahwa pernikahan poligami yang dilakukan Rasulullah disebabkan Rasulullah ingin menjaga kesuciannya dari perzinahan atau dari segala hal yang berkaitan dengan hawa nafsu. Maha Suci Allah dan Rasul-Nya.
Alasan yang banyak dikemukakan para poligamor sekarang ini dalam melakukan kehidupan poligami adalah untuk menjaga kesucian mereka dari perzinahan. Ini tentu tidak salah. Hanya saja, dengan memiliki isteri lebih dari satu, hal itu bukanlah jaminan bahwa seorang lelaki terbebas dari godaan terhadap perempuan lain. Rasulullah SAW tidak pernah menjadikan alasan ini untuk poligaminya.
Dalam tulisan kedua akan dipaparkan satu-persatu keistimewaan pernikahan poligami Rasulullah SAW., yang dilakukan bukan karena desakan hawa nafsu, bukan agar tidak tergoda lagi dengan perempuan lain, bukan untuk alasan klise menjaga syahwat, dan sebagainya. Tujuan poligami Rasulullah SAW memiliki landasan yang lebih agung dan mulia. Bukan sekadar alasan yang dicari-cari agar bisa nikah lagi.
Sepeninggal Khadijah r. A., Rasulullah SAW sangat bersedih hati. Namun kesedihan ini tidak dipendam lama-lama karena dakwah Islam yang masih berusia sangat muda memerlukan penanganan yang teramat serius. Sebab itu, Rasulullah SAW memerlukan pendamping hidup sepeninggal Khadijah r. A. Maka beliau pun, atas izin Allah SWT, menikah kembali. Inilah keutamaan pernikahan-pernikahan yang dilakukan Rasulullah SAW sepeninggal Khadijah r. A. Seperti yang ditulis oleh Dr. M. Syafii Antonio, M. Ec dalam buku “The Super Leader Super Manager: Learn How to Succeed in Business & Life From The Best Example” (ProLM;Agustus 2007). Inilah petikannya:
Saudah binti Zum’ah
Ketika dilamar Rasulullah SAW, Saudah telah berusia 70 tahun dengan 12 anak. Perempuan berkulit hitam dari Sudan ini merupakan janda dari sahabat Nabi bernama As-Sukran bin Amral Al-Anshari yang menemui syahid keran menjadikan dirinya perisai hidup bagi Rasulullah di medan perang. Rasulullah yang ketika melamar Saudah telah berusia 56 tahun menikahi wanita itu agar Saudah bisa terjaga keimanannya dan terhindar dari gangguan kaum Musyirikin yang tengah hebat-hebatnya memusuhi umat Islam yang ketika itu masih sangat sedikit jumlahnya.
Zainab binti Jahsy
Tak lama setelah menikahi Saudah, Rasulullah mendapat perintah dari allah SWT untuk menikahi Zainab binti Jahsy, seorang janda berusia 45 tahun yang berasal dari keluarga terhormat. Pernikahan dengan Zainab ini merupakan suatu pelaksanaan perintah Allah SWT bahwa pernikahan haruslah sekufu. Zainab merupakan mantan isteri dari Zaid bin Haritsah.
Ummu Salamah binti Abu Umayyah
Setelah menikahi Saudah dan Zainab, Rasulullah kembali mendapat perintah Allah SWT agar menikahi puteri dari bibinya yang pandai mengajar dan juga pandai berpidato. Ummu Salamah binti Abu Umayyah, seorang janda berusia 62 tahun. Setelah menikah dengan Rasulullah SAW, Ummu Salamah kelak banyak membantu Nabi dalam medan dakwah dan pendidikan bagi kaum perempuan.
Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan
Dalam pengembangan dakwah Islam yang masih sangat terbatas, umat Islam mendapat cobaan ketika salah seorang darinya, Ubaidillah bin Jahsy, murtad dan menjadi seorang Nasrani. Secara syar’i, murtadnya Ubaidillah ini menyebabkan haram dan putusnya ikatan suami-isteri dengan Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan. Untuk menyelamatkan akidah janda berusia 47 tahun ini, Rasulullah mengambil langkah cepat dengan menikahi Ummu Habibah. Kelak langkah Rasulullah SAW ini terbukti tepat dengan aktifnya Ummu Habibah di dalam menunjang dakwah Islam.
Juwairiyyah binti Al-Harits al-Khuzaiyyah
Juwairiyyah adalah seorang janda berusia 65 tahun dengan 17 anak. Perempuan ini merupakan budak dan tawanan perang yang dibebaskan Rasulullah. Setelah dibebaskan Rasulullah SAW, Juwairiyyah dengan ke-17 orang anaknya tentu akan kebingungan karena dia sama sekali tidak memiliki seorang kerabat pun. Allah SWT memerintahkan Nabi SAW agar menikahi perempuan ini sebagai petunjuk agar manusia mau membebaskan budak dan memerdekakannya dari perbudakan dan penghambaan kepada selain Allah SWT.
Shafiyyah binti Hayyi Akhtab
Setahun setelahnya, saat berusia 58 tahun, Rasulullah kembali menikahi Shafiyah binti Hayyi Akhtab, seorang janda dua kali berusia 53 tahun dan memiliki 10 orang anak dari pernikahan sebelumnya. Shafiyyah merupakan seorang perempuan Muslimah dari kabilah Yahudi Bani Nadhir. KeIslaman Shafiyyah diboikot orang-orang Yahudi lainnya. Untuk menolong janda tua dengan 10 orang anak inilah Rasulullah SAW menikahinya.
Maimunah binti Al-Harits
Dakwah Islam tidak hanya diperuntukkan bagi orang-orang Arab semata, tetapi juga kepada manusia lainnya termasuk kepada orang-orang Yahudi. Sebab itu, Rasulullah kemudian menikahi Maimunah binti Al-Harits, seorang janda berusia 63 tahun, yang berasal dari kabilah Yahudi Bani Kinanah. Pernikahan ini dilakukan semata untuk mengembangkan dakwah Islam di kalangan Yahudi Bani Nadhir.
Zainab binti Khuzaimah bin Harits
Zainab binti Khuzaimah merupakan seorang janda bersuia 50 tahun yang sangat dermawan dan banyak mengumpulkan anak-anak yatim, orang-orang lemah, serta para fakir miskin di rumahnya, sehingga masyarakat sekitar menjulukinya sebagai “Ibu Fakir Miskin”. Guna mendukung secara aktif aktivitas janda tua ini maka Rasulullah menikahinya. Dengan pernikahannya ini Rasulullah ingin mencontohkan kepada umat-Nya agar mau bersama-sama menyantuni anak-anak yatim dan orang-orang lemah, bahkan dengan hidup dan kehidupannya sendiri.
Mariyah al-Kibtiyyah
Setelah delapan pernikahannya dengan para janda-janda tua dengan banyak anak, barulah Rasulullah SAW menikahi seorang gadis bernama Mariyah al-Kibtiyah. Namun pernikahannya ini pun bertujuan untuk memerdekakan Mariyah dan menjaga iman Islamnya. Mariyah merupakan seorang budak berusia 25 tahun yang dihadiahkan oleh Raja Muqauqis dari Iskandariyah Mesir.
Hafshah binti Umar bin Khattab
Dia merupakan puteri dari Umar bin Khattab, seorang janda pahlawan perang Uhud yang telah berusia 35 tahun. Allah SWT memerintahkan Rasulullah untuk menikahi perempuan mulia ini karena Hafshah merupakan salah seorang perempuan pertama di dalam Islam yang hafal dengan seluruh surat dan ayat al-Qur’an (Hafidzah). Pernikahan ini dimaksudkan agar keotentikan al-Qur’an bisa tetap terjaga.
Aisyah binti Abu Bakar
Puteri dari Abu Bakar Ash-Shiddiq ini merupakan seorang perempuan muda yang cantik, cerdas, dan penuh izzah. Allah SWT memerintahkan langsung kepada Rasululah SAW agar menikahi gadis ini. Pernikahan Rasululah dengan Aisyah r. A. Merupakan perintah langsung Allah SWT kepada Rasulullah SAW lewat mimpi yang sama tiga malam berturut-turut (Hadits Bukhari Muslim). Tentang usia pernikahan Aisyah yang katanya masih berusia 9 tahun, ini hanya berdasar satu hadits dhaif yang diriwayatkan oleh Hisyam bin ‘Urwah saat beliau sudah ada di Iraq, dalam usia yang sangat tua dan daya ingatnya sudah jauh menurun. Mengenai Hisyam, Ya’qub ibn Syaibah berkata, “Apa yang dituturkan oleh Hisyam sangat terpercaya, kecuali yang dipaparkannya ketika ia sudah pindah ke Iraq. ” Malik ibnu anas pun menolak segala penuturan Hisyam yang sudah berada di Iraq.
Oleh para orientalis, hadits dhaif ini sengaja dibesar-besarkan untuk menjelek-jelekan Rasulullah SAW. Padahal menurut kajian-kajian semacam al-Maktabah Al-Athriyyah (jilid 4 hal 301) dan juga kajian perjalanan hidup keluarga dan anak-anak dari Abu Bakar Ash-Shiddiq, maka akan diperoleh keterangan kuat bahwa Asiyah sesungguhnya telah berusia 19-20 tahun ketika menikah dengan Rasululah SAW. Suatu usia yang cukup matang uhtuk menikah. (lihat artikelnya disini)
Bagi yang mau lebih jauh menelusuri tentang keterangan ini silakan menelusuri Tarikh al-Mamluk (Jilid 4, hal. 50) dari at-Thabari, Muassasah al-Risalah (Jilid. 2 hal. 289) dari Al-Zahabi, dan sumber-sumber ini dituliskan kembali oleh Dr. M. Syafii Antonio, M. Ec dalam buku “The Super Leader Super Manager: Learn How to Succeed in Business & Life From The Best Example” (ProLM;Agustus 2007). Jadi tidak benar tudingan dan fitnah para orientalis bahwa Rasulullah menikahi Aisyah di saat gadis itu masih berusia sangat belia.
Inilah pernikahan-pernikahan agung yang dilakukan Rasulullah SAW. Beliau banyak menikahi para janda tua dengan banyak anak sebelum menikah dengan dua gadis (Mariyyah dan Aisyah), itu pun atas perintah Allah SWT dan di saat usia Beliau sudah tidak muda lagi. Poligami yang diajarkan, yang disunnahkan Rasulullah SAW adalah poligami yang berdasarkan syariat yang sejati, bukan berdasar akal-akalan, bukan berdasarkan syahwat yang berlindung di balik ayat-ayat Allah SWT.
Jika sekarang banyak sekali orang-orang Islam yang melakukan poligami, mengambil isteri kedua, isteri ketiga, dan isteri keempat, yang semuanya masih gadis, cantik, muda usia, dan sesungguhnya tidak berada dalam kondisi yang memerlukan pertolongan darurat terkait keimanannya, maka hal itu berpulang kepada mereka masing-masing. Adakah poligami yang demikian itu sesuai dengan poligami yang dilakukan dan dijalani Rasululah SAW? Silakan tanya pada hati nurani masing-masing, karena hati nurani tidak pernah mampu untuk berbohong. Wallahu’alam bishawab. (Rizki/tamat)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan
Kongsikan komen anda di sini...