PAGE

Selasa, Julai 22, 2008

Makna kehidupan "Husnul khaatimah"


Petikan : WiSATAHATi oleh Ustadz A. Rochimi, MA

“Khusnul Khatimah adalah hujung perjuangan manusia. Manakala perjuangan terakhirnya berlansung dengan baik, insya Allah ia akan menikmati sisi terakhir dari kehidupannya di syurga.”

Hidup terasa begitu cepat. Dan waktu secara perlahan-lahan, senantiasa mengarahkan kita menuju kematian. Satu tahun berlalu berganti dengan dua tahun dan kian hari usia kita semakin bertambah. Semakin lama kematian itu semakin mendekat dan manusia tak mungkin lagi dapat menghindarinya. Ibarat sebuah medan ujian, dunia adalah babak prakualifikasi untuk menentukan siapa yang layak untuk mendiami istana syurga yang abadi, dan siapa yang pantas untuk dimasukkan ke dalam bara api neraka.

Detik-detik kematian tak perlu dirisaukan. Orang-orang yang beriman akan menyambutnya dengan perasaan yang tulus, dari Allah SWT kita berasal dan kepada-Nya pula kelak kita kembali. Dalam kepastian menjemput kematian inilah husnul khaatimah menjadi idaman setiap orang mukmin. Karena pada detik akhir ini semua ditentukan, apakah kita akan menjadi orang yang bahagia, atau sebaliknya, semua tergantung pada detik-detik akhir ini. Husnul Khaatimah, merasa enjoy dan happy, bahagia di saat –saat terakhir kehidupan.

Setiap akhir pastilah ada awalnya. Begitu juga kalau ada husnul khaatimah itu sesungguhnya tidak hanya pada akhir kematian. Paling tidak ada empat kali period yang kita jalani.

Pertama, saat keluar dari alam ruh (‘alamul arwaah). Dari alam ruh, kita keluar dan masuk ke alam kedua, yang disebut dengan ‘alamul arham (alam kandungan atau rahim ibu). Ketika dalam kandungan, ada satu masa di mana Tuhan “meniupkan” ruh-Nya kepada Adam yang sebelumnya hanya selonggok fisik saja.

Tatkala Nabi Adam diciptakan dari tanah liat itu, dia tidak ada apa-apanya. Nabi Adam tak ubahnya selonggok tanah biasa. Nabi Adam mulai berharga dan bernilai, setelah Allah SWT meniupkan ruh-Nya itu dan menjadikannya sebagai khalifah (mandataris Tuhan) di bumi. Pada saat itulah kedudukannya melampaui makhluk spiritual yang ada sebelumnya, termasuk malaikat dan jin.

Di dalam alam rahim, terjadi peristiwa spiritual yang disebut dengan “perjanjian primordial”, yang universal bagi seluruh manusia. Manusia dengan Tuhannya melakukan kontrak.

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", (QS. Al-A’raaf : 172).

Apa pun agamanya dan betapa pun kafirnya orang itu kemudian, sesungguhnya ia mengingkari perjanjian primordial itu dengan Tuhan. Seorang manusia tidak mungkin keluar ke alam fana (dunia) ini tanpa melalui perjanjian itu.

Terminal yang ketiga adalah alam fana (alam sementara). Di sinilah puncak prestasi manusia harus diperoleh. Dunia ini tempat beramal dan berprestasi yang menentukan masa depan kita di alam berikutnya. Kalau prestasi amal ibadah kita baik, maka mulai terminal keempat yaitu alam barzakh sampai terakhir, alam akhirat nanti, kita kita akan merasakan efek dan pengaruh positifnya. Maka di sinilah perlunya kita mengkaji husnul khaatimah.

Husnul Khaatimah adalah ujung perjuangan manusia. Kalau perjuangan terakhirnya itu baik, insyaa Allah ia akan menikmati sisa terakhir dari kehidupannya. Menurut Nabi, “Barang siapa yang mengucapkan laailaahaillallah di akhir hayatnya (di penghujung pembicaraannya), ia dijamin masuk surga.”

Apakah hadis ini mengisyaratkan tidak pentingnya shalat, puasa, zakat, atau haji bagi kita? Bukankah dengan hanya mengafal kalimat laailaahaillallah yang nantinya kita ucapkan menjelang kematian, sudah cukupkah membuat kita masuk surga? Tentu saja jawabannya tidak. Persoalannya tidak sekadar menghafal. Kalimat ini kalimat sakral. Bisa jadi saat ini kita merasa mudah dan lancar melafadzkannya. Akan tetapi orang yang selalu dilumuri dengan dosa sepanjang hidupnya, lidahnya takkan sanggup mengucapkan laailaahaillallah. Atau dia punya dosa-dosa tertentu, sehingga lidahnya kelu untuk mengucapkan kalimat tauhid ini.

Diceritakan, suatu hari Rasulullah mendengar bahwa Al-Qama, salah satu sahabat dekatnya, mengalami sakaratul maut, Rasulullah kemudian mengutus sahabat-sahabat terbaiknya yang lain untuk membantu ta’ziyyah mayitnya. Alangkah kagetnya para sahabat yang datang pada saat itu. Al-Qama yang dikenal rajin ikut berjihad bersama Rasulullah, tidak sanggup mengucapkan laailaahaillallah, tetapi kata-katanya lancar, ia memanggil siapa saja.

Bersamaan dengan itu, sahabat segera menghubungi Rasulullah. “Ya Rasul. Ada sesuatu yang aneh terjadi pada sahabat kita Al-Qama,” lapor sahabat. “Apa yang terjadi padanya?” Tanya Rasulullah. “Sahabat kita, Al-Qama, tidak sanggup mengucapkan laailaahaillallaah.” Rasul pun datang menemui Al-Qama, seraya bertanya, “Apakah kamu mengenalku?” “Saya sungguh mengenalmu ya Rasulullah!” jawab Al-Qama. “Bacalah laailaahaillallaah, kata Nabi. Berkali-kali Rasulullah menuntunnya, Al-Qama tetap tidak bisa. Mulutnya terasa terkunci, dan kalimat tauhid ini seakan berat untuk diucapkan. Anehnya, Al-Qama bisa berkata selain kalimat tauhid itu.

“Tolong panggilkan ibunya,” Rasulullah menyuruh sahabatnya. “Ibunya tidak ada ya, Rasulullah.” “Tapi masih hidupkah dia?” Tanya Rasulullah. “Masih hidup,” jawab para sahabat. Diutuslah seorang sahabat untuk memanggil ibu Al-Qama atas nama Rasulullah. Setelah ibunya datang, Nabi bertanya, “Mengapa ibu tidak datang, saat anak ibu sakit seperti ini?” “Saya memang belum sanggup datang ke sini. Sekiranya bukan Rasul yang memanggilku untuk datang, saya takkan datang,” tutur ibu itu lirih. “Kenapa?” Tanya Rasul. “Saya tersinggung oleh perlakuan anak ini. Semenjak ia kawin, ia tak ingat lagi untuk mengurusiku. Padahal ia anak satu-satunya.” Jawab ibu itu. “kalau demikian sanggupkah Ibu memaafkan anak Ibu?” pinta Rasul. “Hati saya belum rela memaafkannya, hatiku terlalu sakit,” jawab Ibu itu kemudian. Lalu Rasulullah memerintahkan para sahabatnya untuk mengumpulkan kayu bakar. Tak lama kemudian, kayu bakar itu bertumpuk di depan Al-Qama. “Untuk apa kayu bakar itu ya Rasulullah?” Tanya ibu tadi hairan. Nabi menjawab, “lebih baik api dunia yang membakarya, daripada api neraka yang menyala dan dahsyat panasnya. Jika engkau tak mahu memaafkan anakmu, lebih baik anakmu kami bakar!” Jangan!pekik ibu itu seraya mengucurkan air mata. “Aku memang benci anakku, tapi tak ingin dia mengalami malapetaka seperti itu. Sudahlah, aku maafkan anakku,” lanjut ibu itu. Begitu kata maaf itu keluar dari mulut sang ibu, meluncurlah kalimat laailaahaillallah dari mulut Al-Qama. Rasulullah dengan sahabat-sahabatnya serempak melantunkan innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.

Cerita ini, menggambarkan kepada kita, betapa susahnya meraih husnul khaatimah itu. Tidak sekadar lancar mengucapkannya. Betapapun solehnya seseorang itu, dia pasti takut menghadapi sakaratul maut itu. Mari kita renungkan masa lalu kita. Gelapkah perjalanan hidup kita? Ataukah justru sebaliknya? Kita adalah orang paling tahu masa lalu kita sendiri. Berapa orang yang kita korbankan demi memenuhi kepentingan kita? Berapa orang yang kita tipu? Berapa orang yang telah kita buat resah? Belum lagi dosa kita kepada Allah! Ternyata gelapnya masa lalu kita.

Siapa yang tidak takut mati, ketika membayangkan masa lalunya yang sarat dengan dosa. Kalau Tuhan tidak memaafkannya, apa jadinya kita ini? Mari kita renungkan siapkah kita menghadapi kematian ini? Apa bekal kita untuk masa depan kita setelah kematian? Kerana cepat – lambat pasti menjemput kita?

Masalah husnul khaatimah, tidak bisa kita ukur dengan ukuran-ukuran formal. Kadang, tetangga kita yang biasa-biasa saja, mengalami kematian yang syahdu sembari tersenyum. Sebaliknya, seorang kiai yang perstasi amalnya-dimata kita-baik sekali, justru menghadapi seksaan yang luar biasa pada detik-detik ajalnya, bukanlah jaminan bahawa amal tetangga kita yang biasa-biasa, lebih baik daripada kiai yang soleh itu.

Dalam literatur Islam dikatakan, bisa jadi, orang yang tersenyum saat menjelang kematiannya, masih ada sisa-sisa kebaikan yang pernah dilakukannya, tapi setelah itu ia langsung masuk neraka. Sebaliknya, mungkin masih ada sedikit dosa-dosanya yang diampuni Tuhan, maka, detik-detik terakhir hidupnya ia diberi kesempatan untuk mencuci dosa-dosa itu, dengan dibiarkan menderita saat menjemput maut. Sebab, penyakit adalah penghapus dosa. Rasulullah bersabda, “Orang yang diuji dengan berbagai penyakit, kemudian orang itu sabar, maka ia akan menghapus dosa-dosa masa lalunya.”

Ada beberapa peristiwa yang menurut Rasulullah disebut sebagai pencuci dosa. Antara lain: seorang perempuan yang melahirkan seorang anak dan meninggal dalam keadaan masih bayi. Insyaa Allah orang itu akan mendapatkan peluang untuk husnul khaatimah. Atau orang yang melahirkan lalu meninggal. Kita tidak bisa menentukan orang itu husnul khaatimah atau su’ul khaatimah. Yang berhak menilai dan yang tahu persis hanya Allah SWT.

Memang, dalam kitab kuning disebutkan, ciri-ciri orang yang meninggal dalam keadaan baik, antara lain: mampu mengucapkan kalimah laailaahaillallaah. Bahkan ada yang ingin meninggal dalam keadaan sujud di depan kebesaran Tuhan. Kita bisa berdoa untuk meraih husnul khaatimah. Kita memohon dilindungi dari kematian dalam keadaan yang hina dina. Tidak sedikit orang yang meninggal di tempat pelacuran. Padahal mungkin pada masa lalunya sangat bagus.

Bagaimana mempersiapkan husnul khaatimah itu? Kita tidak bisa mengatur skenario pada detik-detik kematian kita. Kerana sesungguhnya, husnul khatimah itu diperoleh melalui akumulasi rangkaian panjang amal perbuatan kita.

Wallahu A’lam Bis Shawab.


Tiada ulasan:

Catat Ulasan

Kongsikan komen anda di sini...