“YA ALLAH, AKU BERLiNÐUNG KEPAÐAMU ÐARiPAÐA PERASAAN SEÐiH ÐAN ÐUKACiTA, AKU BERLINÐUNG KEPAÐAMU ÐARiPAÐA LEMAH ÐAN MALAS, AKU BERLiNÐUNG KEPAÐAMU ÐARiPAÐA BAHKiL ÐAN PENAKUT ÐAN AKU BERLiNÐUNG KEPAÐAMU ÐARiPAÐA BEBAN HUTANG ÐAN TEKANAN PERASAAN.”


“YA ALLAH, BUKAKANLAH UNTUKKU PiNTU-PiNTU KEBAiKAN, PiNTU-PiNTU KESELAMATAN, PiNTU-PiNTU KESiHATAN, PiNTU-PiNTU KENiKMATAN, PiNTU-PiNTU KEBERKATAN, PiNTU-PiNTU KEKUATAN, PiNTU-PiNTU CiNTA SEJATi, PiNTU-PiNTU KASiH SAYANG, PiNTU-PiNTU REZEKi, PiNTU-PiNTU iLMU, PiNTU-PiNTU KEAMPUNAN ÐAN PiNTU-PiNTU SYURGA, YA ALLAH YANG MAHA PENGASiH LAGi MAHA PENYAYANG.”


Khamis, April 30, 2009

Hak wanita dalam al-Quran


Wanita dalam Islam sangat dihargai dan dihormati, sangat berbeza dari anggapan yang tidak benar dan menyimpang yang tersebar luas di antara para non muslim di seluruh dunia, khususnya di negara-negara Barat, amnya. Tidak dapat kita nafikan, wanita adalah makhluk Allah SWT yang sangat istimewa kerana terdapat surah yang khusus untuk wanita di dalam al-Quran, iaitu surah yang ke 4 daripada 114 surah al-Quran yang di sebut surah An-Nisaa'.

Sebelum datangnya Islam, wanita secara umum tidak dianggap kewujudannya dalam banyak masyarakat di seluruh dunia. Sebenarnya, ia memerlukan waktu berabad-abad lamanya bagi wanita untuk memperoleh hak-hak yang setara dengan lelaki, setidaknya secara teori, jika bukan dalam praktik. Tapi perjuangan untuk mendapatkan kesetaraan gender yang sepenuhnya belum lagi berakhir. Dalam perjuangan ini, banyak pihak yang menunjuk Islam sebagai salah satu penghalang terbesar bagi pemenuhan hak-hak perempuan. Tapi, jika kita mencarinya dalam Qur’an, tampaknya bukan itu masalahnya. Masalahnya terletak pada adat istiadat konservatif tradisional yang ada dalam masyarakat yang tidak menerapkan visi Qur’an tentang tingginya martabat kaum wanita.

Firman Allah SWT yang bermaksud, "Hai sekalian manusia! Bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu, dan daripadanya Allah menciptakan istrinya; dan daripada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim (kekeluargaan). Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu." (Surah an-Nisaa', ayat 1)

Ayat ini jelas menunjukkan bahawa lelaki dan wanita dalam Islam setara secara intrinsik – dalam peristiwa penciptaan – dan secara ekstrinsik dalam hubungan mereka satu sama lain mahupun kewajiban-kewajiban mereka terhadap Tuhan. Malah, menurut tafsirannya, seakan lebih meninggikan perempuan kerana ia menyebutkan rahim di akhir ayat ini, tentu sebagai penghormatan atas peranan mereka sebagai ibu.

Dalam dunia Arab pra-Islam, kaum jahiliyah kerap membunuh bayi perempuan mereka kerana kelahiran seorang anak perempuan merupakan tanda sial/malang bagi keluarga itu. Allah SWT mengutuk sikap ini dalam tafsirnya, "Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Dia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan membenamkannya (menguburkannya) ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan itu." (Surah ah-Nahl [016], ayat 58-59)

Sebagai catatan, Rasulullah SAW berhasil menghentikan perbuatan keji pada wanita pada masyarakat masa itu. Dalam al-Quran, terdapat larangan supaya menghentikan para penyembah berhala yang membunuh bayi perempuan yang lahir. Jika wanita dalam negara muslim saat ini tidak berkuasa memperolehi haknya, ini bukan kerana Islam tidak memberikan, sebaliknya dek kerana banyaknya tradisi asing yang biasa dilakukan di berbagai tempat yang seakan-akan merupakan ajaran Islam. Ini semua disebabkan kebodohan atau dampak dari penjajahan.

Empat belas abad setelah kedatangan Islam serta kemajuan, perkembangan, pendidikan dan pencerahan yang mengikutinya, kita masih boleh melihat stigma tentang anak perempuan ini di beberapa wilayah di dunia, seperti di Asia Selatan, misalnya. Dalam masyarakat ini, di mana lelaki biasanya menafkahi seluruh keluarga, kelahiran seorang bayi lelaki selalu dipandang lebih layak untuk dirayakan.

Meskipun peningkatan taraf wanita yang disebabkan pendidikan dan pekerjaan yang lebih baik, telah mengubah struktur sosial, kita harus berbuat lebih banyak untuk menghormati kesetaraan gender yang diuraikan dalam al-Quran. Pernikahan paksa, pembunuhan untuk “kehormatan”, dan peranan wanita dalam rumahtangga oleh budaya, tradisi mahupun norma-norma sosial tidak didukung oleh Islam.

Para pemimpin politik dan agama yang konservatif di beberapa masyarakat Muslim harus menghormati setiap garis panduan yang termaktub dalam al-Quran tentang status dan hak-hak wanita serta berusaha untuk membangunnya berdasarkan hal itu. Rasulullah SAW membawa cahaya keseluruhan alam bersama al-Quran, wahyu Ilahi menunjuk jalan yang benar, seperti memperjelaskan hak wanita. Rasulullah SAW membawa Islam memperakui hak wanita dalam segala aspek kehidupan di dunia ini, mahupun di akhirat. Kitab suci al-Quran telah menggariskan panduan untuk kita semua, setiap lelaki dan wanita memiliki posisi yang sama di sisi Allah SWT, cuma hal yang membezakan antaza kedua jantina ini adalah keimanan, ketakwaan dan amal ibadahnya. Hukum Islam telah menjamin hak wanita lebih dari 1400 tahun yang lalu, terutama ketika wanita dalam masyarakat barat tengah berjuang untuk memperoleh haknya.


Islam tidak pernah meminggirkan atau mendiskriminasi hak wanita. Islam memandang wanita sebagai seseorang secara utuh yang secara spiritual sama dengan lelaki. Islam menggalakkan wanita agar membina peribadi yang bebas dengan mempunyai hak untuk menuntut ilmu, hak membina kecerdasan akal dan akhlak yang mulia, hak-hak bekerja dan berniaga, memiliki harta, hak menyatakan kebenaran dan kepimpinan malah disuruh menyamai lelaki dalam menjalankan kewajipan Islam seperti menjaga maruah, menutup aurat, menjalani rukun Islam yang lima dan berpegang teguh dengan rukun Iman yang enam, menjadi anak perempuan yang solehah, isteri yang taat, ibu yang penyayang, berani dan berjuang menegakkan keadilan dan lain-lain lagi.

Dalam Islam, wanita memiliki kontrol terhadap kekayaannya sendiri. Wanita juga tidak boleh menikah tanpa keinginan/kerelaannya. Juga tidak boleh diwarisi oleh anak-anak lelaki suaminya seperti yang berlaku pada zaman Jahiliyah. Wanita dalam Islam juga memiliki hak waris terhadap harta-benda dan hak untuk memohon cerai dari suaminya jika diperlakukan tidak sesuai dan tidak dapat lagi hidup bersama dalam pernikahan.

Islam memberikan hak-hak waris kepada wanita 12 abad sebelum hak itu diberikan kepada para wanita Eropah. Ini dijelaskan dalam al-Quran, firman Allah SWT yang bermaksud, "Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orangtua dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orangtua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan." (Surah an-Nisaa', ayat 7)

Islam juga tidak melihat wanita dengan pandangan merendahkan atau sebagai godaan yang menyesatkan. Juga tidak menyalahkan wanita sebagai penyebab dosa. Wanita dalam Islam dibenarkan melakukan semua ibadah yang sama dengan lelaki. Bahkan, hak yang diberikan Islam terhadap wanita sekitar 1400 tahun yang lalu, jauh lebih dulu dibandingkan di dunia barat pada tahun 1900-an. Lima puluh tahun yang lalu, wanita dalam masyarakat barat tidak dapat membeli rumah atau mobil tanpa tandatangan dari ayah atau suaminya.

Islam muncul pada masa dan pada masyarakat yang memperlakukan wanita sebagai barang warisan. Sehingga merupakan sesuatu yang revolusioner bagi mereka untuk memiliki hak waris bagi diri mereka sendiri. Dalam wacana Muslim, perdebatan mengenai hak-hak wanita, atau hak-hak untuk urusan itu, selalu dipahami dalam konteks hak dan kewajiban dari sudut pandang Islam. Untuk menghormati hak dan kewajiban ini dan untuk memahami peranan kita dalam perkembangan masyarakat, kita harus mendidik diri sendiri. Pendidikan dan pengetahuan wajib hukumnya bagi lelaki dan wanita dalam Islam.

Lagi pula, pendidikanlah yang berperan sebagai katalis untuk perubahan. Firman Allah SWT yang bermaksud, "(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakal sihat yang dapat menerima pelajaran." (Surah az-Zumar [039], ayat 9)

Ajaran Islam harus lebih diutamakan daripada adat dan budaya yang memiliki bias terhadap peranan konstruktif wanita dalam masyarakat Muslim. Bias ini ironisnya kadang-kadang diungkapkan atas nama agama yang justeru telah memberikan wanita hak-hak yang jauh lebih besar daripada yang boleh diterima oleh struktur-struktur sosial itu. Segala upaya pemberdayaan yang senada dengan visi al-Quran, yang menjunjung tinggi status wanita di hadapan hukum, harus didukung sepenuhnya. Kepada mereka yang ingin menyangkal hak-hak wanita semacam itu, kita boleh pertikaikan, “Apakah mereka tidak menghayati al-Quran?" kerana Allah SWT telah menegaskannya dalam tafsirnya, "Maka apakah mereka tidak memperhatikan (menghayati) Al Qur'an? Kalau kiranya Al Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya." (Surah an-Nisaa', ayat 82)

Perisai kepanasan

Allah SWT berfirman dalam ayat 124 surah an-Nisaa' yang bermaksud, "Sesiapa yang berbuat baik sama ada lelaki atau wanita yang beriman, mereka pasti dianugerahkan syurga dan tidak sesekali mereka itu dianiayai." Dan ayat 32 dalam surah yang sama bermaksud, "Lelaki memperoleh daripada hasil usahanya, begitu jualah wanita memperoleh daripada hasil usahanya."

Jelas maksud ayat tadi mengenai hak lelaki dan wanita adalah sama demi melakukan kebaikan dan memiliki ganjaran yang sama. Islam amat menghormati wanita, sekalipun masih bayi dan kanak-kanak. Manakala anak-anak perempuan menjadi perisai daripada kepanasan api neraka kepada ibu bapa mereka.

Rasulullah SAW pernah bersabda yang bermaksud, "Sesiapa (ibu/bapa/penjaga) yang memiliki tiga anak perempuan dan dia (ibu/bapa/penjaga) sabar menghadapi cabaran dalam menjaga anak-anak perempuannya, nescaya Allah pasti menganugerahkan ke atasnya (ibu/bapa/penjaga) dengan kenikmatan syurga." Setelah Nabi Muhammad SAW bersabda demikian, tiba-tiba ada seorang lelaki bangun dan bertanya, "Kalau dua orang anak perempuan?" Nabi Muhammad menjawab, "Ya, sama." Lelaki itu bertanya lagi, "Kalau hanya seorang anak perempuan?" Nabi Muhammad menjawab, "Ya, tetap sama." (Hadis Riwayat Ahmad dan Al-Hakim)

Manakala dalam soal perkahwinan dan rumahtangga pula, terlalu banyak hak wanita yang harus dipatuhi dan dihormati oleh lelaki. Sebagai contoh: dalam perkahwinan, Islam memuliakan wanita dengan mempastikan mereka diberi hak yang sempurna. Pihak pengantin lelaki harus melamar wanita dengan sopan, dijaga atas nama walinya dan diberi mahar (mas kahwin) yang menjadi milik penuh wanita itu. Pihak pengantin lelaki tidak boleh sama sekali mengambil harta mas kahwin isteri tanpa izinnya.

Allah SWT berfirman dalam surah an-Nisaa', ayat 4 yang bermaksud, "Dan berikanlah kepada wanita (isteri) itu mas kahwin sebagai pemberian yang wajib. Kemudian jika wanita (isteri) tersebut denga suka hatinya memberi kepada kamu (si suami) sebahagian daripada mas kahwinnya, maka makanlah (gunakenlah) pemberian itu sebagai nikmat yang lazat, malah lagi baik keudahannya."

Begitu juga halnya dalam hubungan suami isteri, di mana si suami harus menghormati si isteri dengan penuh kasih sayang dan saling memahami antara satu sama lain. Wanita sebagai seorang isteri berhak mendapat kasih sayang sepenuhnya daripada si suami, dan menjadi tanggungjawab atau nafkah batin ke atas suami. Allah berfirman lagi dalam surah an-Nisaa', ayat 19 yang bermaksud, "Bergaullah bersama isteri-isteri kamu dengan cara baik 9dengan penuh kasih sayang). Apabila kamu tidak menyukai mereka (disebabkan tingkah laku mereka), janganlah kamu terburu-buru bertindak atau menceraikan, mungkin sesuatu yang tidak kamu sukai itu sengaja diadakan Tuhan kebaikan yang banyak tersembunyi di dalamnya."

Pada zaman Rasulullah SAW, seorang sahabat Nabi bernama Abu Darda' diakad-nikahkan oleh Rasulullah SAW sendiri. Pada malam pertamanya, Abu Darda' datang menemui isterinya. Dia memandang wajah isterinya dengan penuh kasih sayang lalau berkata, "Isteriku sayang, apabila kau melihat diriku sedang marah, maka jinakkanlah marahku itu. Dan apabila aku melihat dirimu marah, maka aku akan menjinakkan marahmu pula." Dan sambungnya lagi, "Sayangku, tanpa persefahaman, kita tidak dapat hidup dengan rukun dan damai." Begitulah ucapan Abu Darda' kepada isterinya yang tercinta di malam pertama mereka. Nasihat yang cukup berguna bagi pasangan suami isteri.

Monogami atau poligami?

Seorang wanita bergelar isteri juga berhak untuk bersuara dalam perkara poligami. Poligami bukan hak mutlak bagi lelaki dengan melupakan hak isterinya. Kita dapat lihat contoh Rasulullah SAW sendiri, sekalipun baginda mengamalkan poligami, tetapi baginda tidak pernah mengabaikan hak isteri-isteri baginda, malah isteri-isteri baginda denga suka hatinya membenarkan Rasulullah SAW berpoligami.

Jika kita lihat, Rasulullah SAW berpoligami atas nama kebenaran Islam bukanlah atas kehendak baginda sendiri. Dimanakah hak seorang isteri dalam menentukan poligami si suami? Wanita atau sesiapapun jua tidak boleh menentang hukum poligami dalam Islam, tetapi wanita yang bergelar isteri mempunyai hak untuk menghalang suaminya berpoligami. Ini terjadi ketika Saidina Ali r.a., menantu Rasulullah SAW ingin berkahwin lagi, Fatimah r.a., isteri Saidina Ali r.a., menghalangnya dan mengadu kepada Rasulullah SAW. Nabi mendengar aduan tersebut lalau menegur Saidina Ali denga sabdanya yang bermaksud, "Sekiranya engkau menyakiti hati Fatimah, samalah engkau menyakiti hatiku." Saidina Ali mendengar teguran Rasulullah SAW itu, langsung membatalkan niatnya untuk berpoligami.

Dengan kata lain, seorang lelaki yang bergelar suami harus mendapatkan restu daripada si isteri kerana dia berkewajipan untuk berlaku adil kepada isterinya yang satu itu. Menjaga dan menghormati perasaan isteri adalah salah satu tanggungjawab atau nafkah batin yang harus disempurnakan.

Pada hakikatnya, bukanlah mudah untuk suami berlaku adil walaupun status monogami. Perkara yang disebutkan tadi adalah sebahagian kecil daripada hak keseluruhan seorang wanita.

Sebenarnya masih banyak lagi hak-hak wanita yang boleh dikupas daripada kalamullah, insya Allah jika ada kelapangan, saya akan masukkan lagi entry berkaitan ini.

0 KOMEN:

Catat Ulasan

Kongsikan komen anda di sini...

Related Posts with Thumbnails